Sunday, September 8, 2019

Wajib Mengulang Syahadat ketika Baligh?


Menyucapkan dua kalimat syahadat di depan saksi, hanya berlaku bagi mereka yang hendak masuk islam.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Muadz ke Yaman untuk mendakwahkan islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada beliau,

Engkau akan mendatangi sekelompok kaum ahli kitab. Karena itu, ajaklah mereka untuk bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah. Jika mereka menerimamu dengan ajakan itu, ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam…. (HR. Bukhari 1395, Muslim 132, Abu Daud 1586 dan yang lainnya)

Kaum yang didatangi Muadz adalah masyarakat beragama nasrani di Yaman.

Demikian pula hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad utusan Allah, dan mereka menegakkan shalat, dst… (HR. Bukhari 25 & Muslim 135).

Makna hadis, bahwa beliau diperintahkan untuk mendakwahi manusia sampai mereka masuk islam dengan ditandai pengucapan dua kalimat syahadat.

Tidak Perlu Mengulang Syahadat

Oleh karena itu, bagi mereka yang telah masuk islam, tidak ada kewajiban untuk menyatakan syahadat di depan saksi atau di depan pemimpin. Diantara dalil yang menunjukkan hal itu,

Pertama, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menaklukkan kota Mekah, banyak masyarakat di hamparan jazirah arab yang masuk islam secara berbondong-bondong. Satu suku semua masuk islam, diwakili oleh pernyataan kepala suku. Allah sebutkan dalam al-Quran,

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan ( ) dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (QS. an-Nashr: 1-2)
Itu terjadi sekitar tahun 9 dan 10 H. Sehingga tahun itu digelari ‘am al-Wufud (tahun kedatangan tamu).

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji wada di akhir tahun 10 H, jumlah kaum muslimin yang ikut haji sangat banyak, lebih dari seratus orang.

Sehingga tidak semua orang yang masuk islam, mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan banyak diantara mereka yang belum akrab dengan Nabi, dan beliau mengakui keislaman mereka.

Kedua,  ada beberapa sahabat yang lahir di tengah kaum muslimin. Seperti Abdullah bin Zubair, lahir ketika ibunya ikut hijrah ke Madinah. Dan kita tidak mendapatkan adanya riwayat, mereka mengikrarkan dua kalimat syahadat setelah mereka besar.
Karena mereka sudah islam sejak kecil, sehingga mereka tidak butuh mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anak Kecil Mengikuti Agama Orang Tuanya

Ulama sepakat bahwa anak kecil yang dilahirkan di tengah orang tua yang keduanya muslim, maka agamanya langsung mengikuti orang tuanya. Jika agama ortunya berbeda, maka agamanya mengikuti orang tuanya yang muslim.

Syaikhul Islam mengatakan,
“Anak kecil yang kedua orang tuanya muslim, maka dia muslim mengikuti kedua orang tuanya, dengan sepakat kaum muslimin.”

Demikian pula ketika ibunya muslimah (sementara ayahnya kafir), dia mengikuti agama ibunya menurut pendapat mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ahmad. (Majmu’ Fatawa, 10/437).

Keterangan lain dinyatakan dalam Ensiklopedi Fiqh,
Ulama sepakat bahwa jika ada bapak yang masuk islam dan dia memiliki beberapa anak yang masih kecil atau keluarga yang seperti anak kecil – seperti orang gila – maka mereka dihukumi telah islam mengikuti ayahnya. Sementara mayoritas ulama (Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali) berpendapat bahwa yang menjadi acuan islamnya anak adalah status islamnya salah satu dari orang tuanya. Baik ayahnya maupun ibunya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 4/270).

Anak Kecil Tidak Perlu Mengulang Syahadat

Anak kecil dari keluarga muslim, tidak perlu mengulang syahadatnya ketika baligh, karena mereka sudah muslim sejak kecil.

Syaikhul Islam mengatakan,
“Kaum muslimin sepakat bahwa anak kecil ketika menginjak baligh sudah muslim, dia tidak wajib memperbarui syahadatnya setelah baligh. “(Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)

Beliau juga mengatakan,
“Ulama salaf dan para ulama setelahnya sepakat bahwa perintah pertama yang ditujukan kepada para hamba adalah dua kalimat syahadat. Mereka juga sepakat bahwa siapa yang sudah bersyahadat sebelum baligh, dia tidak diperintahkan untuk mengulang syahadatnya setelah baligh.” (Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)

Jika Murtad Setelah Baligh

Sebelum baligh, status agama anak mengikuti agama orang tuanya. Dan jika dia murtad setelah baligh atau ragu dengan islamnya, maka dia wajib bertaubat dengan mengulangi syahadatnya.

Syaikhul Islam mengatakan,
“Anak kecil, hukumnya di dunia sama dengan hukum orang tuanya. Karena dia tidak berdiri sendiri. Jika dia baligh, kemudian memilih islam atau kakfiran, maka hukumnya kembali kepada pilihannya dengan sepakat kaum muslimin. Jika kedua orang tuanya yahudi atau nasrani, kemudian si anak masuk islam, maka dia menjadi muslim, dengan sepakat kaum muslimin. Sebaliknya, jika kedua orang tuanya muslim, kemudian anaknya memilih kafir setelah baligh, maka dia kafir dengan sepakat kaum muslimin. (al-Fatawa al-Kubro,1/170). “

Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com
===============================================


Syahadat artinya adalah persaksian. Seorang yang bersyahadat pada dasarnya dia sedang bersaksi. Pertanyaannya: mengapa harus bersaksi? Katakanlah sebagai contoh, mengapa seseorang harus bersaksi di pengadilan? Untuk apa bersaksi atau berikrar di depan hakim?
Jawabnya untuk menegaskan kepada khalayak tentang persepsi, pemahaman, keyakinan serta pendirian dirinya. Tetapi kenapa harus ada persaksian? Karena saat itu belum jelas pendirian seseorang, sehingga orang itu harus bersaksi di depan pengadilan.

Di masa lalu, ketika belum ada satu pun orang yang memeluk agama Islam, setiap kali ada yang masuk Islam, nabi SAW meminta mereka melakukan persaksian ini, yaitu melafadzkan dua kalimat syahadat. Sebagai tanda bahwa mulai saat itu dia sudah pindah agama dan menjadi pemeluk Islam. Pengucapan ini dilakukan untuk menegaskan bahwa seseorang sudah pindah agama, dari agama selain Islam menjadi beragama Islam.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah jadi muslim sejak lahir? Masihkah diperlukan persaksian?
Jawabnya tentu saja tidak perlu bersyahadat lagi. Mengapa? Sebab dalam kehidupan sehari-hari, semua ciri, perilaku dan penampilannya sudah menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim. Karena itu persaksian itu tidak lagi diperlukan. Toh tidak ada kepentingannya lagi.
Lagi pula secara aqidah, keyakinan dan fikrah, sudah bisa dipastikan dirinya mentauhidkan Allah dan menjadikan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul-Nya, serta kesetiaan untuk menjalankan semua perintah Allah SWT. Mengapa seorang yang sejak lahir sudah demikian masih dipertanyakan keIslamannya dengan harus syahadat ulang?

Apakah anak-anak para shahabat nabi, para tabi'in, para ulama salaf dan setiap lapis generasi muslim sepanjang 14 abad itu pernah melakukan proses syahadat ulang, padahal mereka lahir sudah jadi muslim? Jawabnya tidak pernah. Sebab mereka memang sudah muslim, sejak lahir dan selama 24 jam dalam setiap hari dalam kehidupan mereka.

Bahkan ketika mereka pergi ke masjid untuk shalat, itu adalah 'syahadat' mereka. Ketika Ramadhan mereka berpuasa, itu adalah syahadat mereka juga. Ketika bayar zakat atau pergi haji ke baitullah, itu adalah syahadat mereka. Lantas buat apa lagi mereka bersyahadat lagi? Adakah pihak-pihak yang meragukan atau mencurigai bahwa orang yang melakukan itu bukan muslim?
Dan anda benar, bukankah tiap shalat kita pasti sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan hanya sekali seumur hidup saja, tetapi setiap hari tujuh belas kali, apa masih kurang?

Syahadat Tidak Harus di Depan Imam
Sebuah cara pandang yang keliru dan sesat adalah bila mensyaratkan bersyahadat di depan imam tertentu, atau pimpinan tertentu dari suatu jamaah. Pemikiran ini tidak datang dari ajaran Islam yang benar, tetapi merupakan hasil rekayasa palsu kelompok tertentu. Mereka menyamakan antara syahadat dengan bai'at. Seolah orang yang tidak berbai'at dengan kelompok mereka, masih belum muslim. Syahadatnya dianggap belum sah, kecuali setelah bersyahadat sekaligus berbai'at dengan kelompok mereka.

Ide harus adanya syahadat ulang buat semua umat Islam, biasanya datang dari kelompok-kelompok yang punya kepentingan tertentu.

Syahadat ulang hanya diberlakukan kepada mereka yang murtad, yaitu ingkar kepada salah satu rukun iman dan rukun Islam, atau melakukan hal-hal yang kongkrit membatalkan syahadat. Itu pun ada perintah penguasa resmi, bukan orang perorang.

================================================

Setiap orang yang lahir di muka bumi ini pada dasarnya adalah muslim, sehingga tidak perlu melakukan syahadat ulang. Dalam aqidah Islam, tidak ada orang yang lahir dalam keadaan kafir. Sebab jauh sebelum bayi itu lahir, Allah SWT telah meminta mereka untuk berikrar tentang masalah tauhid, yaitu mengakui bahwa Allah SWT adalah tuhannya.

Di dalam Al-Quran Al-Kariem, hal ini ditegaskan sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bayi lahir itu dalam keadaan kafir.

Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.

Selain itu, Rasulullah SAW juga telah bersabda bahwa setiap manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Dan makna fitrah itu adalah suci, lawan dari kufur dan ingkar kepada Allah SWT. Barulah nanti kedua orang tuanya yang akan mewarnai anak itu dan menjadikannya beragama selain Islam. Misalnya menjadi Nasrani, Yahudi atau Majusi.

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Maka anak-anak yang beragama non Islam itu pada dasarnya adalah anak korban pemurtadan dari orang tuanya. Sebab pada dasranya anak itu muslim sejak dari perut ibunya. Dan lahir dalam keadaan fitrah yang berarti muslim.

Sedangkan bila orang tuanya muslim, maka tidak ada proses pengkafiran. Dan karena itu tidak ada kewajiban untuk masuk Islam dengan berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat.

Orang Masuk Islam

Banyak di antara shahabat yang ketika masuk Islam pertama kali tidak di hadapan beliau SAW. Ikrar atas syahadat maknanya adalah mengumumkan kepada khalayak bahwa dirinya kini telah berganti agama dari non muslim menjadi muslim. Ikrar ini berfungsi untuk merubah pandangan umum sehingga mereka bisa memperlakukannya sebagai muslim.

Namun dalam kondisi tertentu, pengumuman atas ke-Islaman diri itu tidak mutlak harus dilakukan. Misalnya seperti yang dahulu dialami oleh Rasulullah SAW dan para shahabat di masa awal dakwah, banyak di antara mereka yang merahasiakan ke-Islamannya. Namun syahadat mereka tetap syah dan mereka resmi dianggap sebagai muslim.

Di hari ini pun bila ada seserorang yang karena pertimbangan tertentu ingin merahasiakan ke-Islamannya, maka dia sudah syah menjadi muslim dengan bersyahadat tanpa disaksikan siapapun. Dan sejak itu dia terhitung mulai menjadi muslim yang punya kewajiban shalat, puasa, zakat dan lain-lain.

Syahadatain itu tidak mensyaratkan harus dilakukan di depan imam, tokoh, kiayi atau ulama. Tanpa adanya kesaksian mereka pun syahadat itu sudah syah dan dia sudah menjadi muslim dengan sendirinya.

Untuk Menjadi Orang Beriman Tidak Perlu Minta Izin
Untuk menjadi hamba Allah SWT dan beriman kepada Rasulullah SAW, tidak perlu minta izin kepada makhluq Allah. Sebab beriman itu adalah hak sekaligus kewajiban seorang makhluq.

Urusan mau beriman kok harus minta izin segala? Yang terkenal suka bikin peraturan bagi orang yang mau beriman agar minta izin terlebih dahulu adalah Firaun. Firaun akan mempertanyakan mengapa orang-orang jadi beriman tanpa minta izin dahulu kepadanya. Seolah-olah dia merasa punya hak untuk meregistrasi orang-orang mau masuk jadi kelompok mukminin. Padahal untuk urusan seperti ini, Allah SWT tidak pernah ‘buka cabang’ atau ‘outlet. Juga tidak pernah membuka ‘agen yang menjual tiket’ untuk masuk Islam.

Fir’aun berkata: Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu?, sesungguhnya adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui

Syahadat Bukan Akad Nikah

Syahadat itu tidaklah harus disaksikan sebagaimana sebuah akad nikah yang menjadi tidak syah apabila tidak ada saksinya . Bila seorang telah meyakini Islam sebagai agamanya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, secara otomatis dia adalah seorang muslim.

Dan di atas pundaknya telah berlaku beban sebagaimana seorang muslim lainnya. Tidak perlu baginya untuk mencari orang lain atau mengadakan sebuah seremoni masuk Islam dengan menghadirkan para saksi melihat dia mengucapkan dua kalimat syahahat.

Jadi bila di tengah hutan belantara yang tidak ada manusianya, seseorang yang tadinya nasrani, majusi atau yahudi dan bahkan dari kepercayaan dan religi manapun bisa saja masuk Islam begitu saja.

Kalau dia masuk ke tengah peradaban masyarakat maka cukuplah dia mengaku sebagai muslim, shalat di masjid dan melakukan semua kewajiban sebagai muslim. Dia tidak perlu melakukan syahadat ulang di hadapan para saksi. Tidak perlu menandatangani surat bermaterai untuk menyatakan diri sebagai muslim.

Bagaimana kalau dia murtad dan keluar dari Islam?

Dalam hukum Islam, seorang muslim yang jelas melakukan perbuatan yang mengantarkannya kepada kemurtadan harus diperiksa dan dimintai keterangan secara syah oleh mahkamah syariah . Bila ternyata dia benar-benar secara sadar menyatakan diri keluar dari Islam, maka dia diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam ajaran Islam. Tapi bila tetap bersikeras untuk keluar dari ISlam, maka hukumannya adalah dibunuh. Untuk masuk Islam seseroang bisa dengan mudah melakukannya, tapi untuk bisa dianggap keluar dari Islam, perlu ada ‘persaksian’ di dalam sebuah mahkamah syariah.


TAMBAHAN MENGENAI SYAHADAT

1. Anak Kecil Belum Baligh Adalah Sudah Muslim

Setiap anak lahir ke dunia dan belum baligh adalah sudah dalam keadaan mu’min dan muslim berdasar ayat Al Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. Jika mati sebelum baligh maka dimasukkan ke surga dan menjadi Wildan Mukholladuun yaitu anak-anak yang dikekalkan yang menjadi pelayan ahli surga. Jika anak kecil yang tidak mengerti apa-apa lalu mati kemudian dimasukkan ke neraka sungguh tidak adil ALLAH SWT.

ALLAH berfirman : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah ALLAH ciptakan manusia atas fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(Surat Ar Rum ayat 30)

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ ( وَفِيْ رِوَايَةٍ عَلَى هذِهِ اْلِملَّةِ ) فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
Nabi SAW bersabda : “Setiap anak yang dilahirkan itu dilahirkan atas fitrahnya (dalam riwayat lain: atas agama ini) lalu kedua orangtuanya meyahudikannya dan menashronikannya dan memajusikannya” (HR. Bukhori dan Muslim)

Fitrah itu artinya beragama Islam, karena jika bukan Islam maka hadits diatas akan menyebutkan “kedua orang tuanya mengislamkannya”.

ALLAH berfirman :
إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءً
“Sesungguhnya AKU ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus ….’ (HR. Muslim)

Seseorang telah berkata : Wahai Rosulullah, bukankah mereka itu anak-anak orang musyrik? Nabi SAW menjawab : Sesungguhnya pilihan kalian terhadap anak-anak musyrik, ingatlah :

إِنَّهَا لَيْسَتْ نَسَمَةٌ تُوْلَدُ إِلاَّ وُلِدَتْ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَمَا تَزَالُ عَلَيْهَا حَتَّى يُبَيِّنَ عَنْهَا لِسَاُنهَا فَأَبَوَاهَا يُهَوِّدَانِهَا أَوْ يُنَصِّرَانِهَا

Sesungguhnya bukanlah mereka itu adalah orang-orang yang dilahirkan kecuali dilahirkan atas fitrah (kesucian), maka senantiasa mereka di atas kesucian sehingga lidah mereka memperjelas mereka lalu kedua orang tuanya meyahudikannya atau menashronikannya. (HR. Ibnu Jarir)


2. Menuduh Kafir/Syirik/Murtad/Syahadat Bermasalah

Sebuah tuduhan keji dan tidak pantas dilakukan sesama muslim jika menyatakan jika tidak bersyahadat ulang di depan saksi maka syahadatnya bermasalah atau kafir atau murtad.

Hadis riwayat Abu Zar ra.: "Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kata kafir atau mengatakan musuh Allah, padahal sebenarnya tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali pada dirinya." (HR. Muslim hadits ke 93)


3. Syahadat Tidak Pakai Saksi

Banyak sahabat-sahabat Nabi SAW yang bersyahadat tapi tidak di depan saksi. Saksi mereka cukup ALLAH SWT saja. Beriman tidak perlu minta izin ke makhluk. Beriman itu bukan akad nikah. Hanya Fir’aun yang mewajibkan minta izin jika ingin beriman seperti disebutkan dalam Al Qur’an kisah para penyihir Fir’aun yang beriman kepada ALLAH dan Nabi Musa. Abu Tholib pamannya Nabi SAW pun tidak dikafirkan oleh Nabi SAW, padahal pamannya tidak bersyahadat di depan Nabi sebelum meninggalnya.


4. Memperbaharui Iman Bukan Dengan Ikrar Syahadat Ulang

جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لَااِلَـــهَ اِلَّا اللهُ
Nabi SAW bersabda : “Perbaharuilah iman kalian yaitu perbanyaklah mengucapkan Laa IlaaHa illallaaH tiada tuhan selain ALLAH” (HR. Ahmad)

- Jika memperbaharui iman harus di depan saksi pasti Nabi SAW sebutkan dalam haditsnya
- Jika memperbaharui iman harus bersyahadat khusus bukan yang di dalam solat pasti Nabi SAW akan sebutkan di hadtisnya
- Jika memperbaharui iman harus di depan saksi maka setiap kita mengucapkan Laa IlaaHa illaallaH harus di depan orang dan didengar orang, sungguh menyusahkan

KESIMPULAN

- Orang mu’min dari kecil maka tidak wajib membaca kalimat Syahadat, cukup memperbaharuinya syahadatnya di dalam solat maupun di luar solat dengan kalimat tahlil dan tanpa saksi
- Anak ornag musyrik masih dianggap mu’min hingga dia baligh dan hingga dirinya atau orang tuanya yang mengkafirkannya
- Mewajibkan mengulangi membaca syahadat dan harus di depan saksi dan jika tidak seperti itu maka syahadatnya dianggap bermasalah maka ajaran ini adalah salah dan merupakan bid’ah atau ajaran baru yang tidak dikenal di zaman Nabi, sahabat maupun ulama salaf  


===============================================

Sumber : 
https://konsultasisyariah.com/24907-wajib-mengulang-syahadat-ketika-baligh.html
http://mift4hulhaq.blogspot.com
https://www.rumahfiqih.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat 
https://ustadzaris.com/mengulang-syahadat-setelah-dewasa 
https://bimbinganislam.com/islam-keturunan-dan-syahadat/
https://almanhaj.or.id/4722-wajibkah-mengulangi-syahadat-dihadapan-imam.html 
https://m.inilah.com/news/detail/2460648/perlu-tidaknya-kita-bersyahadat 
https://nikmatislam.com/terlahir-muslim-perlu-bersyahadat-ulang/
https://www.eramuslim.com/aqidah/syahadat-haruskah-diulang-seorang-muslim.htm#.XX12wXExXIU  


JAWABAN ATAS WEBSITE :

Surat Al-Baqarah Ayat 181-182 ( Kultum 08-09-2019 )


Terjemah Arti:
Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Makna : (Tafsir Kementrian Agama RI)
Barang siapa mengubahnya, yaitu mengubah isinya saat menyampaikannya dengan menambah atau mengurangi wasiat itu, atau menyembunyikan dan tidak menyampaikannya setelah penerima wasiat mendengarnya, boleh jadi karena dia sebagai penerima wasiat, sebagai pencatat, atau sebagai saksi, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya dan tidak menyampaikannya kepada yang berhak. Ia sudah mengkhianati amanat yang diterimanya, dan itu sama hukumnya dengan mengkhianati Allah dan rasul-Nya. Sungguh, Allah maha mendengar seluruh pembicaraan yang disampaikan oleh pemberi wasiat dan juga bisikan hati orang yang mengubah atau menyembunyikan wasiat.

Allah maha mengetahui isi wasiat yang dalam bentuk tulisan dan segala perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat, tetapi barang siapa khawatir karena mengetahui atau melihat tanda-tanda bahwa pemberi wasiat berlaku berat sebelah atau berbuat salah, baik disengaja maupun tidak, sehingga menyimpang dari ketentuan Allah, lalu dia mendamaikan antara mereka dengan meminta orang yang berwasiat berlaku adil dalam wasiatnya sesuai dengan ketentuan syariat islam, maka dia, yakni orang yang mendamaikan itu, tidak berdosa. Sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang kepada hambahamba-Nya yang bertobat.