Terjemah
Arti:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Tafsir : Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, pengajar di Masjid Nabawi
Makna
ayat :
Pada ayat 154 mengandung larangan
untuk meyakini bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu sudah mati, akan
tetapi mereka hidup di alam barzakh, belum mati, akan tetapi mereka hidup di
dalam surga mendapatkan rezeki dari Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw
“Arwah para syuhada’ dibawa oleh burung-burung hijau yang berkeliaran di surga
sekehendak hatinya, kemudian mereka tinggal di dalam lampu-lampu gantung di
bawah ‘arsyi.” (HR Muslim).
Oleh karena itu orang yang mati
terbunuh di jalan Allah tidak dikatakan sudah mati, akan tetapi mereka telah
menjadi syahid dan hidup di sisi Rabbnya. Kehidupan yang belum pernah kita
rasakan karena belum meninggalkan kehidupan di dunia ini.
Pelajaran dari
ayat :
Keutamaan orang yang mati syahid
dibandingkan yang lainnya, mereka hidup di sisi Rabbnya dengan kehidupan yang
sempurna dibandingkan kehidupan lainnya di dalam surga.
TAMBAHAN :
Mati syahid di jalan Allah ada beberapa macam:
- Syahid di dunia dan akhirat
- Syahid di dunia, namun bukan syahid di akhirat
- Syahid di akhirat, namun bukan syahid di dunia
Syahid di dunia dan
akhirat, akan mendapatkan pahala syahadah
(yang sempurna). Orang yang dihukumi sebagai syahid di dunia dan akhirat
adalah orang yang gugur dalam perang dalam, keadaan sedang maju bukan sedang
kabur, dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Dan ia tidak makan
dan minum setelah terluka dan jatuh di pertempuran dalam keadaan
belum mendapatkan pengobatan. Sebagian ulama, orang yang terluka di peperangan
lalu sempat makan, minum dan mendapat pengobatan setelah terlukanya, maka ia
tidak dihukumi syahid. Kecuali jika hanya makan atau minum sedikit saja
kemudian wafat setelah terlukanya, (maka masih dihukumi syahid).
Syahid di dunia
adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur, namun
niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Maka di dunia ia
dihukumi sebagai syahid secara zahirnya. Namun di akhirat, di sisi Allah, ia
tidak mendapatkan pahala syahid.
Adapun syahid di
akhirat yang bukan syahid dunia, ia diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana
orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun di dunia,
jenazahnya tetap dimandikan, dikafankan, dishalati, dan jenazahnya diperlakukan
sebagaimana jenazah kaum Muslimin pada umumnya. Yang termasuk jenis ini di
antaranya:
- Al Mabthun, orang yang meninggal karena penyakit di perutnya
- Al Ghariq (orang yang mati tenggelam)
- Al Hariq (orang yang mati terbakar)
- Orang yang sakit dzatul janbi (semacam penyakit paru-paru)
- Wanita yang meninggal ketika nifas
- Al Gharib, orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana
Dan yang lainnya semisal mereka, mendapatkan syahid di akhirat.
Namun bukan syahid di dunia.
Inilah beberapa jenis mati syahid yang dijelaskan para ulama.
Selanjutnya,
orang yang mendapatkan pahala syahid -sebagaimana hadits memiliki syarat, di antaranya:
Pertama, dia adalah seorang Muslim. Jadi
pahala syahid tentu saja hanya bagi orang yang beragama Islam, bukan orang
kafir atau musyrik. Kemudian, tidak melakukan perbuatan yang bisa membatalkan
syahadat.
Kedua, kepergiannya (safar) diniatkan
dalam rangka amal shalih, seperti hendak berdakwah fisabilillah, menuntut ilmu,
menyambung silaturrahim, mencari nafkah dan lain-lain. Perjalanan tersebut
bukan untuk bermaksiat, misalnya; berpacaran, berfoya-foya menghabiskan uang,
mengunjungi tempat-tempat maksiat dan lain sebagainya.
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada
niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya,
maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, tidak menyengaja melakukan
perjalanan yang bisa membahayakan dirinya. Orang yang melakukan perjalanan,
selain berdoa dan mematuhi adab-adab safar, juga harus memperhatikan faktor
keselamatan. Perahu atau kapal yang ditumpanginya, apakah masih memadai atau overload. Bagaimana
kondisi kapalnya, layak ditumpangi atau tidak. Bila, berbagai faktor terkait
keselamatan itu telah ia perhatikan, namun takdirnya mengalami bencana di
perjalanan, setidaknya ia telah berikhtiar. Sebaliknya, bila hal tersebut
diabaikan, lalu terjadi kecelakaan di tengah jalan, maka bisa jadi orang
tersebut tidak mendapat pahala mati syahid, melainkan mati konyol.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
pernah ditanya, tentang seseorang yang menaiki kapal dengan maksud pergi
berdagang kemudian tenggelam, apakah ia dikatakan mati syahid?
Ibnu Taimiyah rahimahullah
memberikan jawaban, iya, termasuk syahid selama ia tidak bermaksiat ketika ia
naik kapal tadi. Ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan, (orang yang mati tenggelam termasuk syahid; orang yang mati karena
sakit perut termasuk syahid; orang yang mati terbakar termasuk syahid; orang
yang mati karena wabah termasuk syahid; wanita yang mati karena melahirkan
termasuk syahid; juga orang yang mati karena tertimpa reruntuhan termasuk
syahid). Ada juga hadits yang menyebutkan selain dari itu. Asalnya pergi berdagang dengan kapal itu boleh
selama yakin bisa selamat. Namun kalau tidak yakin bisa selamat, maka tidak
boleh bergadang dengan kapal laut. Jika nekat dilakukan, maka sama saja bunuh
diri dan tidak disebut syahid. Wallahu a’lam. (Al Fatawa Al Kubra 22/3).
Sumber :
https://tafsirweb.com/
https://muslim.or.id/
Sumber :
https://tafsirweb.com/
https://muslim.or.id/
No comments:
Post a Comment