Sunday, August 18, 2019

Surat Al-Baqarah Ayat 154 ( Kultum Subuh Tgl. 19-08-19)


Terjemah Arti:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

Tafsir : Abu Bakar Jabir al-Jazairi, pengajar di Masjid Nabawi

Makna ayat :
Pada ayat 154 mengandung larangan untuk meyakini bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu sudah mati, akan tetapi mereka hidup di alam barzakh, belum mati, akan tetapi mereka hidup di dalam surga mendapatkan rezeki dari Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Arwah para syuhada’ dibawa oleh burung-burung hijau yang berkeliaran di surga sekehendak hatinya, kemudian mereka tinggal di dalam lampu-lampu gantung di bawah ‘arsyi.” (HR Muslim).
Oleh karena itu orang yang mati terbunuh di jalan Allah tidak dikatakan sudah mati, akan tetapi mereka telah menjadi syahid dan hidup di sisi Rabbnya. Kehidupan yang belum pernah kita rasakan karena belum meninggalkan kehidupan di dunia ini.

Pelajaran dari ayat :
Keutamaan orang yang mati syahid dibandingkan yang lainnya, mereka hidup di sisi Rabbnya dengan kehidupan yang sempurna dibandingkan kehidupan lainnya di dalam surga.


TAMBAHAN :
Mati syahid di jalan Allah ada beberapa macam:
  1. Syahid di dunia dan akhirat
  2. Syahid di dunia, namun bukan syahid di akhirat
  3. Syahid di akhirat, namun bukan syahid di dunia

Syahid di dunia dan akhirat, akan mendapatkan pahala syahadah (yang sempurna). Orang yang dihukumi sebagai syahid di dunia dan akhirat adalah orang yang gugur dalam perang dalam, keadaan sedang maju bukan sedang kabur, dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Dan ia tidak makan dan minum setelah terluka dan jatuh di pertempuran dalam keadaan belum mendapatkan pengobatan. Sebagian ulama, orang yang terluka di peperangan lalu sempat makan, minum dan mendapat pengobatan setelah terlukanya, maka ia tidak dihukumi syahid. Kecuali jika hanya makan atau minum sedikit saja kemudian wafat setelah terlukanya, (maka masih dihukumi syahid).

Syahid di dunia adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur, namun niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Maka di dunia ia dihukumi sebagai syahid secara zahirnya. Namun di akhirat, di sisi Allah, ia tidak mendapatkan pahala syahid.

Adapun syahid di akhirat yang bukan syahid dunia, ia diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun di dunia, jenazahnya tetap dimandikan, dikafankan, dishalati, dan jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum Muslimin pada umumnya. Yang termasuk jenis ini di antaranya:
  • Al Mabthun, orang yang meninggal karena penyakit di perutnya
  • Al Ghariq (orang yang mati tenggelam)
  • Al Hariq (orang yang mati terbakar)
  • Orang yang sakit dzatul janbi (semacam penyakit paru-paru)
  • Wanita yang meninggal ketika nifas
  • Al Gharib, orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana

Dan yang lainnya semisal mereka, mendapatkan syahid di akhirat. Namun bukan syahid di dunia.
Inilah beberapa jenis mati syahid yang dijelaskan para ulama.

Selanjutnya, orang yang mendapatkan pahala syahid -sebagaimana hadits  memiliki syarat, di antaranya:
Pertama, dia adalah seorang Muslim. Jadi pahala syahid tentu saja hanya bagi orang yang beragama Islam, bukan orang kafir atau musyrik. Kemudian, tidak melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat.

Kedua, kepergiannya (safar) diniatkan dalam rangka amal shalih, seperti hendak berdakwah fisabilillah, menuntut ilmu, menyambung silaturrahim, mencari nafkah dan lain-lain. Perjalanan tersebut bukan untuk bermaksiat, misalnya; berpacaran, berfoya-foya menghabiskan uang, mengunjungi tempat-tempat maksiat dan lain sebagainya.
 “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, tidak menyengaja melakukan perjalanan yang bisa membahayakan dirinya. Orang yang melakukan perjalanan, selain berdoa dan mematuhi adab-adab safar, juga harus memperhatikan faktor keselamatan. Perahu atau kapal yang ditumpanginya, apakah masih memadai atau overload. Bagaimana kondisi kapalnya, layak ditumpangi atau tidak. Bila, berbagai faktor terkait keselamatan itu telah ia perhatikan, namun takdirnya mengalami bencana di perjalanan, setidaknya ia telah berikhtiar. Sebaliknya, bila hal tersebut diabaikan, lalu terjadi kecelakaan di tengah jalan, maka bisa jadi orang tersebut tidak mendapat pahala mati syahid, melainkan mati konyol.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, tentang seseorang yang menaiki kapal dengan maksud pergi berdagang kemudian tenggelam, apakah ia dikatakan mati syahid?
Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan jawaban, iya, termasuk syahid selama ia tidak bermaksiat ketika ia naik kapal tadi. Ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, (orang yang mati tenggelam termasuk syahid; orang yang mati karena sakit perut termasuk syahid; orang yang mati terbakar termasuk syahid; orang yang mati karena wabah termasuk syahid; wanita yang mati karena melahirkan termasuk syahid; juga orang yang mati karena tertimpa reruntuhan termasuk syahid). Ada juga hadits yang menyebutkan selain dari itu. Asalnya pergi berdagang dengan kapal itu boleh selama yakin bisa selamat. Namun kalau tidak yakin bisa selamat, maka tidak boleh bergadang dengan kapal laut. Jika nekat dilakukan, maka sama saja bunuh diri dan tidak disebut syahid. Wallahu a’lam. (Al Fatawa Al Kubra 22/3).

Sumber : 
https://tafsirweb.com/
https://muslim.or.id/

No comments:

Post a Comment